Masihkah Angka Menjadi Standar Pengukuran Kecerdasan Anak Di Masa Pandemi?



Tiap akhir semester, para orangtua disibukkan dengan persiapan ulangan akhir semester putra putri mereka, mulai dari memberikan les tambahan, mengerjakan banyak latihan soal. Usai ulangan akhir semester, tiba giliran anak-anak menantikan laporan hasil belajar atau yang sering disebut sebagai rapor. Sebagian besar orang menjadikan nilai dan prestasi akademik sebagai satu-satunya tujuan akhir proses belajar di sekolah.

Tahun ajaran kali ini sudah hampir berakhir, namun sudah sekitar empat bulan lamanya para siswa sekolah diharuskan belajar di rumah mengikuti anjuran dari pemerintah agar supaya dapat memutus mata rantai persebaran virus Covid-19. Kegiatan belajar mengajar mendadak harus berpindah ke rumah dengan segala macam model pembelajarannya. Model pembelajaran jarak jauh dengan berbasis teknologi informasi mendadak populer. Situs-situs media sosial mendadak naik penggunannya, dan para guru berlomba untuk membuat muatan tayang semenarik mungkin agar dilihat banyak orang ataupun mendapat banyak pengikut. Bonusnya adalah "hadiah" dari pemilik media sosial tersebut.

Kembali kepada model pembelajaran konvensional, dengan mengandalkan provider dari penyedia jaringan internet masing-masing yang mereka gunakan, syarat ketuntasan masih menjadi hal yang "wajib" untuk dicapai demi mengejar standarisasi ketuntasan walaupun modelnya berubah menjadi daring, bukan tatap muka di kelas. Anak-anak masih dijejali dengan pengetahuan berupa hafalan-hafalan, kemudian diakhiri oleh ujian standar dengan harapan meraih nilai tinggi. Lalu, bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki gawai, tidak mampu membeli kuota, jaringan terbatas, dan lain sebagainya. Sepertinya nilai yang berupa angka-angka yang dijadikan sebagai penentu keberhasil atau kegagalan. Orangtua merasa berhasil jika rapor anaknya penuh angka 9, sebaliknya merasa kecewa dan gagal ketika rapor anaknya banyak berderet angka 6. Keterampilan lain yang dikuasai namun tidak terukur dengan angka akan menjadi sesuatu yang tak dianggap berharga.

http://www.kesekolah.com/images2/big/2014031817025489945.jpg





Mungkinkah seorang dokter di rumah sakit mengeluarkan surat keterangan sehat hanya dengan mengukur tekanan darah saja. Begitu juga dengan kepandaian. Tidak adil tentunya jika kita hanya mengukurnya dengan angka, apalagi dibatasi hanya untuk pelajaran-pelajaran tertentu : bahasa, matematika, fisika, atau kimia. Lalu mereka yang lihai bermain bola, suka menuangkan ide dalam gambar, jago bermain catur, lincah dalam menari, atau yang senang menari, akan dianggap apa?

Angka dan kepandaianpun menjadi semakin rumit (atau justru sempit) ketika kemudian dibandingkan dengan capaian milik orang lain. Tidak heran jika kemudian muncul istilah anak pintar dan anak bodoh. Munculnya perilaku menyontek, plagiarisme, sangat dipengaruhi oleh cara pandang ini. Padahal jika merujuk pada perkembangan anak seutuhnya, semestinya kita menggunakan penilaian yang tolok ukurnya berasal dari diri. Dalam konteks belajar, berarti membandingkan hasil belajar anak saat ini dengan sebelumnya, bukan membandingkannya dengan anak lain. Jadi bersaing dan berkompetisi itu dengan dirinya sendiri dari waktu ke waktu, lebih baik dari hari ke hari.

Dunia pendidikan di Indonesia masih menjadikan anak (siswa) sebagai satu-satunya input dan diikuti oleh hasil belajar yang seringkali dipaksakan diukur dalam selembar kertas atau ijazah sebagai satu-satunya output. Sehingga kita seperti diajak untuk memandang bahwa tujuan pendidikan semata-mata untuk mendukung, mendorong, dan memfasilitasi anak meraih nilai tertinggi atau setidaknya nilai standar. Begitulah kenyataannya.




Dalam hal ini, seyogyanya yang menjadi masukan dalam proses penyelenggaraan pendidikan itu bukan hanya anak, tetapi juga orangtua murid, guru (fasilitator), dan tak luput pula: penyelenggara sekolah. Mengacu pada peristiwa yang kita alami bersama saat ini, pemerintah belum mengeluarkan keputusan seperti apa proses pembelajaran yang nanti akan diberlakukan pada era kenormalan baru ini. Yang paling mungkin dilakukan adalah, mengajak para orang tua untuk berdaya dengan menjadi teman belajar bagi buah hatinya, tanpa menjadikan standarisasi capaian akademik sebagai tujuan. Anak dapat belajar dari apa yang mereka minati di sekitar rumah. Sedangkan tugas fasilitator adalah sebagai pemantik yang mengarahkan proses belajar yang harus dilalui. Hubungan antara fasilitator, orang tua dan juga anak, nantinya akan menumbuhkan sebuah semnagat baru yang outputnya bukanlah soal nilai ujian atau nilai rapor, melainkan terciptanya KOMUNITAS dan EKOSISTEM BELAJAR agar tercipta suasana belajar yang merdeka. Jika ditanya, apakah tidak perlu rapor? Maka Jawabannya adalah tentu saja ada catatan fasilitator, tetapi bukan menjadi tujuan utama dari perjalanan belajar yang panjang. Sebaiknya rapor lebih berfungsi sebagai sarana dokumentasi untuk melihat perkembangan anak dari semester ke semester. Seorang wali murid pernah bercerita kepada saya, “Saya dan anak suka sekali membaca rapor bersama. Saya sering terharu, ketika dulu di kelas satu,masih ada catatan tentang proses jatuh bangunnya seorang anak dalam melakukan penyesuaian, perjuangannya untuk doyan makan sayur, bermain dan mengalami konflik dengan teman. Dari semester ke semester selalu ada perubahan ke arah yang lebih baik. Meski tiap semester juga selalu ada tantangan baru yang harus dihadapi. Catatan ini membuat saya semakin yakin, bahwa anak-anak sedang terus belajar dari banyak hal, banyak orang, dan banyak peristiwa di sekitarnya. Dia sendiri juga selalu antusias membaca catatan hasil belajarnya. Dia ingat betul detil peristiwa yang dituliskan fasilitatornya.”

Untuk melihat perkembangannya anak dari waktu ke waktu seperti yang diceritakan orangtua murid di atas, apakah mungkin jika rapor yang menyajikan angka dapat mewakili menceritakan proses jatuh bangunnya anak dalam belajar? Bisakah angka menceritakan tentang proses, jatuh bangunnya, kebangkitannya dari kegagalan, hingga semangat yang baru lagi untuk mencoba? Bisakah angka bercerita soal perkembangannya yang signifikan soal penyesuaian dirinya dengan teman?

Catatan saat mereka melakukan perencanaan pembelajaran, tiap tahap ini memiliki dinamika tersendiri. Catatan yang berupa deskripsi ini setidaknya mampu mewakili bagaimana ketertarikan, keaktifan, konsistensi, respon, kreativitas, inisiatif, ekspresi, kecepatan, ketelitian, ketekunan dan kecenderungan anak menyelesaikan tugas selama mengikuti proses belajarnya. Jika disajikan dalam bentuk angka, apakah bisa?

Setiap anak memiliki keunikan, tidak ada satu ukuran mutlak untuk mengukur kecerdasan seseorang. Membandingkan kecerdasan anak satu dengan yang lainnya, secara ekstrim bisa diibaratkan ketika kita membandingkan kemampuan terbang antara burung dengan orang utan. Tidak adil bukan? Yang perlu kita pahami bahwa kompetisi yang sebenarnya adalah dengan diri sendiri. Berhasilnya belajar bukan karena mampu mengalahkan orang lain, tetapi karena menjadi lebih baik, lebih paham, makin mampu dari hari ke hari, begitu seharusnya. Maka dari itu, mari kita sama-sama berdoa agar pandemi ini segera berlalu dan kita akan segera memasuki era kenormalan yang baru.




Komentar

  1. Menanggapi ini, setiap mata bidang pelajaran tentu ada target yg sering kita kenal dg KKM kalau di pendidikan Dasar, menengah.
    Kalo di PAUD kita juga punya indikator2 perkmbngn yg sharusnya di capai sesuai usianya.
    Alhmdlh..raport skrng di SD,SMP,SMA ada narasi yg cb mnceritakan detail prkmbngn siswa/i.

    Tetapi ijazah msh berkutat dg angka2 yaa..

    K dpn, sesuai dg cita2 merdeka blajar, kita memakai metode assisment kompetensi. Yg meniadakan tes bersama, bisa d wujudkan dg unjuk kerja, porto polio, unjuk produk dsb..yang memungkinkan pembelajaran menjadi aktif kreatif dan inovatif.

    BalasHapus
  2. Di masa pandemi covid-19 ini Penilaian dengan standar angka kurang relevan sebaiknya disesuaikan dengan kompetensi anak, karena kegiatan banyak dilakukan di rumah sesuai merdeka belajar.
    Sebaiknya penilaian tetap disesuaikan kompetensi dasar dan indikator perkembangan anak yang mengarah ke pembentukan karakter dan kecakapan hidup dalam bentuk narasi.

    BalasHapus
  3. Kecerdasan dan kesuksesan hidup seseorang tidak bisa doukur dengan angjka, tetapi bisa diusahakan dengan penuh keyakinan keuletan dan inovasi yang tinggi.
    Orang sukses orang yang bisa mengalahkan hawa nafsunya sendiri .
    Kita tidak perlu membandingkan kecerdasan anak dengan anak lain apalagi dengan angka.
    Deskripsi kegiatan cukup untuk menggambarkan perkembangan anak.
    Lagi-lagi orang tua dan masyarakat harus sadar bahwa kecerdasan bukan dari nilai angka tetapi yang utama dari pembentukan karakter dan kecakapan hidup.

    BalasHapus
  4. "Situs-situs media sosial mendadak naik penggunannya, dan para guru berlomba untuk membuat muatan tayang semenarik mungkin agar dilihat banyak orang ataupun mendapat banyak pengikut. Bonusnya adalah "hadiah" dari pemilik media sosial tersebut."

    Nyindir gue banget, hiks

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya pembiasaan karakter peduli lingkungan pada anak

Mengelola Kemampuan Literasi Sesuai Dengan Perkembangan Usia Anak